POJOK REDAKSI – PELIPATGANDAAN hukuman yang dijatuhkan pengadilan tingkat banding kepada mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron patut menjadi tolok ukur bagi semua hakim di negeri ini. Bukan hanya karena menjadikan hukuman penjara atas Fuad naik dari 8 tahun menjadi 13 tahun, vonis dalam hal perampasan asetnya oleh negara juga patut diapresiasi.
Pengadilan tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta untuk menyita aset Fuad Amin sekitar Rp250 miliar yang dianggap diperoleh dari hasil korupsi untuk negara. Itu merupakan jumlah terbesar penyitaan aset koruptor dalam sejarah penegakan hukum di negeri ini.
Putusan itu jelas menunjukkan semangat kuat untuk memiskinkan koruptor. Memang, istilah pemiskinan tidak ada dalam ranah hukum dan pengadilan. Itu hanya istilah sosial untuk perilaku koruptor yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi demi menegaskan pemberian hukuman maksimal bagi para koruptor.
Selain menimbulkan efek jera, pemiskinan koruptor bakal membuat semakin banyak kekayaan negara yang bisa dikembalikan kepada negara untuk digunakan sepenuh-penuhnya bagi kepentingan rakyat. Langkah itu juga memangkas kemungkinan menjadikan uang hasil korupsi untuk melakukan korupsi berikutnya.
Kasus yang menimpa mantan Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pujo Nugroho, yang disangka menyuap hakim sebagai upaya menghentikan kasus dugaan korupsi bansos, merupakan salah satu fakta itu. Uang hasil korupsi seperti menjadi darah bagi kejahatan korupsi darah bagi kejahatan korupsi itu sendiri.
Ia bisa menutupi pelaku dari proses hukum, bahkan menjadi ‘modal’ untuk melakukan kejahatan yang lebih besar lagi. Karena itu, nadi aliran ‘darah kotor’ itu mesti diputus dengan pemiskinan.Perampasan kekayaan hasil kejahatan punya fungsi pencegahan atas kejahatan yang jauh lebih sistematis, besar, dan terorganisasi. besar, dan terorganisasi.Upaya memiskinkan koruptor melalui perampasan aset jelas terobosan brilian.
Namun, ada hambatan hukum di pengadilan tipikor yang hanya menjangkau harta atau kekayaan pelaku korupsi yang bisa dilacak dan diketahui dalam penguasaan tersangka atau terdakwa. Patut diduga tersangka atau terdakwa memperoleh harta yang tidak tercatat dalam penguasaan terdakwa dari hasil korupsi.
Karena itu, penguatan instrumen hukum menjadi keniscayaan. UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dianggap belum maksimal untuk merampas aset koruptor. Usul untuk membuat undang-undang perampasan aset selayaknya dipertimbangkan agar pemiskinan menjadi hukum besi pemberantasan korupsi.
Selain itu, pemberantasan korupsi masih punya tantangan besar yang justru datang dari para pengadil. Tren vonis rendah terhadap koruptor bak tamparan atas gencarnya upaya pemberantasan korupsi. Bukannya mencari cara untuk meneguhkan efek jera bagi koruptor, hukum justru memberikan ganjaran hukuman ringan.
Indonesia Corruption Watch merilis hasil kajian tren vonis korupsi pada 2015. Secara garis besar tren vonis pada 2015 menggambarkan kerja institusi pengadilan tindak pidana korupsi tidak maksimal dalam menghukum terdakwa korupsi.
Tidak maksimalnya kinerja pengadilan tipikor tampak dalam bobot hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi, yang rata-rata hanya 2 tahun 2 bulan. Padahal, pada 2014 rata-rata vonis ialah 2 tahun 8 bulan. Itu masih ditambah lagi dengan upaya pelemahan KPK lewat revisi UU KPK yang disetujui Baleg DPR, kemarin.
Korupsi haruslah ditempatkan dalam urutan paling atas sebagai kejahatan yang mesti diberantas. Perangkat hukum mesti tegas dan memberangusnya dengan tuntas.
Vonis terhadap mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik yang tidak sampai separuh dari tuntutan jaksa menjadi gambaran masih adanya ruang bagi koruptor untuk tersenyum dan bersyukur.
Mestinya, vonis ringan bagi koruptor tidak perlu terjadi jika seluruh hakim pengadilan tipikor memiliki kesamaan pandangan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.