Melepas Belitan Politik Uang

HIRUK pikuk pilkada mulai terdengar amat riuh di 101 daerah yang menyelengarakan pesta demokrasi lokal secara serentak pada Februari 2017 mendatang. Pasangan-pasangan bakal calon telah mendaftar dan tinggal menunggu penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum, bulan depan.
Pasangan bakal calon akan bertarung memperebutkan simpati dan suara pemilih. Cara-cara yang mereka tempuh tidak boleh menyimpang dari koridor yang telah ditetapkan undang-undang dan KPU selaku penyelenggara pemilu. Ada dua hal yang digarisbawahi Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebagai ancaman pilkada. Pertama, berbagai hasutan termasuk yang mengungkit isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA. Kedua, politik uang. Harus diakui keduanya telah membudaya dan terus muncul di setiap perhelatan pemilu. Budaya yang menodai kehidupan berdemokrasi.
Hasutan yang kerap bersifat fitnah menyebar dengan cepat tanpa saringan yang memadai. Tiap orang yang mudah terhasut akibat minimnya pengetahuan otomatis ikut menjadi agen penyebar. Politik uang mengakar mulai proses pencalonan kepala daerah hingga saat pencoblosan.
Praktik-praktik kotor dan menghalalkan segala cara untuk memenangi pilkada tersebut tengah dicoba untuk diberangus. Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya. Itu tertuang jelas dalam Pasal 73 Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Sanksinya pun cukup keras. Calon yang melanggar bakal terkena diskualifikasi. Dilanjutkan dengan sanksi bagi tim kampanye berupa pidana kurungan minimal tiga tahun dan denda minimal Rp200 juta. Lebih spesifik, peraturan KPU mengatur batasan nilai dan bentuk pemberian dalam berkampanye. Di luar itu, pemberian oleh calon dan tim kampanye masuk kategori tindak pidana politik uang. Misalnya, makan, minum, dan transportasi untuk peserta kampanye tidak boleh diberikan dalam bentuk uang. Cendera mata kampanye yang diberikan harus berada dalam rentang harga maksimal Rp25 ribu, sedangkan hadiah perlombaan paling mahal bernilai Rp1 juta.
Di atas kertas, aturan telah terpampang jelas dan terperinci. Namun, bila melihat kebiasaan di masyarakat, pihak yang terkait akan mencoba mencari celah untuk bisa melanggar. Belum lagi sikap pura-pura tidak tahu demi menghindari sanksi pelanggaran.
Di sinilah perlu kejelian, ketegasan, dan integritas para petugas pengawas pemilu. Di situ pula ujian bagi Sentra Penegakan Hukum Terpadu alias Gakkumdu yang selama ini terkesan bersikap permisif, membiarkan praktik politik uang terus ada.
Pengawasan akan semakin kuat bila masyarakat ikut berpartisipasi aktif melaporkan dugaan politik uang. Tentu harus dimulai dengan sosialisasi yang gencar tentang batasan-batasan yang diperbolehkan. Pada masa mendatang, agar upaya membasmi politik uang lebih efektif, perlu juga dipertimbangkan sanksi bagi penerimanya. Seperti halnya dalam kasus suap yang memidanakan dua pihak, yakni penyuap dan pejabat yang disuap.
Pilkada tanpa politik uang dan hasutan membuat pemilih dapat menilai para calon kepala daerah secara lebih objektif. Dengan demikian, diharapkan bakal dihasilkan pemimpin-pemimpin berkualitas dan bersih dengan komitmen besar memajukan daerah. Pilkada tanpa politik uang dan hasutan akan meningkatkan kualitas demokrasi.
Sumber: media indonesia.com
Manager Program & Pemberitaan : Hendra Ray
Admin : Ade
Comments
This post currently has no comments.