Menanti Penerus Artidjo

Menanti Penerus Artidjo

Pojok Redaksi- JUMAT (18/5) pekan lalu menjadi hari terakhir Artidjo Alkostar bersidang sekaligus menuntaskan perkaranya sebagai hakim agung. Setelah hampir 18 tahun mengemban amanah–ia dilantik menjadi hakim agung pada akhir 2000–pada Senin (21/5) Artidjo resmi pensiun di usianya yang ke-70 tahun.

Delapan belas tahun tentu bukan waktu yang singkat bagi seseorang untuk tetap bertahan sebagai ‘wakil Tuhan’ yang berlevel agung di lembaga Mahkamah Agung. Tak banyak yang mampu seperti itu, tapi Artidjo lebih dari itu. Ia tak sekadar bertahan dari sisi cakupan waktu, tapi selama itu pula ia terus memproduksi kebaikan dan nama baik.

Artidjo serupa contoh sebuah teori tentang penegakan hukum yang mesti tegas dan berintegritas. Dalam setiap proses dan keputusan sidang yang ditanganinya, Artidjo seperti ingin membuktikan bahwa di dunia hukum, integritas memang segala-galanya. Ketika integritas sudah melekat, kejujuran dan keberanian pun akan mengikuti. Sebaliknya, segala macam kepalsuan akan berangsur tergusur.

Karena integritasnya pula Artidjo menjadi hakim agung yang paling ditakuti para terdakwa kasus korupsi. Tak pernah pandang bulu. Tidak ada tebang pilih. Hukum di tangan Artidjo tak seperti stereotip hukum di Indonesia yang katanya hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Pisau hukum Artidjo tajam ke segala arah, segala penjuru.

Banyak politikus tersohor terpidana kasus korupsi yang sudah merasakan kerasnya palu Artidjo di persidangan kasasi. Daftarnya panjang, dari Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, Luthfi Hasan Ishaaq, hingga OC Kaligis. Alih-alih memperingan vonis, Artidjo justru menjatuhkan hukuman penjara lebih lama ketimbang putusan di pengadilan tingkat pertama.

Karena begitu ‘menakutkannya’ Artidjo, ada seorang terdakwa kasus korupsi  sampai mengurungkan niat mengajukan kasasi setelah mengetahui Artidjo menjadi salah satu hakim yang menangani perkaranya. Mereka sangat paham dan tak ada yang berani coba-coba menawarkan suap kepada Artidjo karena pasti bakal ditolak mentah-mentah.

Sejak kemarin, sosok sederhana pelawan arus itu telah purnatugas. Kini ia tak perlu lagi membatasi pergaulan dan menjaga jarak dengan orang-orang yang selama ini ia lakukan demi menjaga muruah dan independensinya sebagai hakim agung. Kini ia pun sudah bisa mencopot tulisan ‘Tidak Menerima Tamu yang Beperkara’ yang terus ia pasang di depan ruang kerjanya sepanjang pengabdiannya di Mahkamah Agung.

Yang akan rugi ialah Republik ini jika keberanian, kejujuran, dan integritas yang selama ini ditunjukkan Artidjo ikut menghilang seiring dengan kepurnatugasannya. Yang akan menemui kesialan ialah Mahkamah Agung seandainya sikap, sifat, dan perilaku Artidjo sebagai hakim agung tak ada yang meneruskan.

Dengan keteladanannya, Artidjo telah menyemai benih yang amat baik dan bermutu. Tugas negaralah, khususnya Mahkamah Agung, untuk menciptakan ekosistem yang juga baik agar benih baik itu dapat tumbuh dengan sempurna.
Di situlah regenerasi watak bisa direalisasikan. Regenerasi yang tak sekadar menggantikan yang telah pergi, tapi sekaligus mengadopsi semua sifat, pemikiran, dan jejak baik yang telah ditinggalkan. Semoga lahir Artidjo lain di negeri ini.

Sumber : editorial mediaindonesia

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...