POJOK REDAKSI – KORUPSI di Indonesia memang betul-betul luar biasa. Guritanya menjalar tak melihat tempat, tak memandang siapa. Tangan-tangan kuatnya mampu menggedor tembok mana pun, bahkan tembok terkuat dari benteng para pengadil yang mestinya justru menjadi barisan terdepan pemberantas korupsi. Ketika ruang-ruang pengadilan sudah terkontaminasi, ketika itulah keruwetan penanganan korupsi kian menjadi. Di saat jerat-jerat korupsi sudah menelusur ke segala penjuru negeri, di saat itu pula kejahatan ini akan lebih mudah berkembang dan bermutasi.
Tidak mengagetkan bila Presiden Joko Widodo pun menyebut korupsi sebagai masalah paling rumit yang saat ini harus dihadapi Indonesia.
Saat berbicara di depan para diaspora di Seoul, Korea Selatan, Minggu (15/5), Presiden mengungkapkan penindakan terhadap tindak korupsi sebetulnya telah dilakukan secara masif dan keras oleh KPK. Namun, ia mengakui ketiadaan sistem yang mumpuni membuat penindakan selama bertahun-tahun ini tidak juga memberikan efek jera.
Menjalarnya korupsi hingga menggerogoti lembaga peradilan tertinggi, yakni Mahkamah Agung (MA), ialah contoh paling konkret dari kerumitan itu. Rumit karena belitan jaring-jaring korupsi itu bahkan mampu merapuhkan lembaga yang sesungguhnya merupakan salah satu pilar utama penegakan hukum di negara ini. Belum tersentuhnya Sekretaris MA Nurhadi, meskipun namanya berkali-kali muncul dalam kasus pengaturan putusan perkara bernuansa suap, juga satu bukti bahwa penanganan kasus rasywah memang tak pernah sederhana, apalagi bila praktik itu sudah melibatkan ‘orang-orang kuat’.
Perang melawan korupsi ialah perang melawan buruknya integritas, lemahnya sensitivitas, dan hancurnya nurani para pejabat publik. Bertempur melawan korupsi juga berarti berjibaku melawan kelicikan, kelihaian, dan kekuatan para tukang lancung yang tak pernah kehabisan akal dan celah untuk melancarkan aksi mereka. Karena itu, menciptakan sistem yang komprehensif untuk memberantas korupsi seperti yang dirindukan Presiden merupakan keniscayaan yang tak boleh ditunda-tunda. Namun, upaya seperti itu tentu tak akan pernah mudah dan sederhana. Kalau tembok MA yang merupakan benteng terakhir keadilan saja bisa dijebol, siapa yang menjamin virus-virus korupsi itu tidak akan mampu menembus proses penciptaan sistem tersebut?
Kini, sembari menunggu sistem dibuat, akan jauh lebih efektif bila publik mendorong penguatan lembaga pemberantas korupsi yang ada saat ini, khususnya KPK. Lembaga itu, tidak boleh tidak, harus terus mengakselerasi diri menjadi semakin profesional, kredibel, transparan, dan akuntabel. KPK juga mesti mengantongi kekuatan serta keberanian tingkat tinggi karena ‘musuh-musuh’ yang bakal dihadapi ialah mereka yang terus bermutasi menjadi semakin kuat. Tak boleh ada sedikit pun kelalaian, kelemahan, dan kelengahan buat lembaga yang begitu diandalkan publik memberangus korupsi itu. Sebaliknya, KPK harus mampu menjebol kekuatan-kekuatan yang selama ini menjadi pelaku, penikmat, sekaligus ‘pelindung’ praktik korupsi.