POJOK REDAKSI – TEGAK teguhnya pelaksanaan aturan tengah mendapatkan ujian di Republik ini, hari-hari belakangan. Ujian itu bermuara pada pertanyaan apakah aturan itu mampu meruntuhkan persepsi publik selama ini bahwa hukum dan aturan hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas, atau justru kembali takluk oleh kekuatan-kekuatan di luar urusan hukum dan aturan tersebut.
Begitulah yang terjadi ketika maskapai Lion Air melawan sanksi pembekuan rute baru selama enam bulan dan izin ground handling yang dijatuhkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Bentuk perlawanan itu ialah pelaporan ke Bareskrim Polri oleh Presiden Lion Group, Edward Sirait, atas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Suprasetyo karena dinilai melakukan kesewenang-wenangan.
Laporan itu dibuat pada Senin (16/5). Dasar laporan itu awalnya terkait dengan surat pembekuan izin rute baru PT Lion Mentari Airlines selama enam bulan dari Kemenhub pada 11 Mei 2016. Pembekuan rute baru itu diberikan setelah ada insiden pemogokan pilot Lion Air yang berimbas pada keterlambatan jadwal penerbangan maskapai tersebut. Laporan ke polisi itu juga merupakan pintu masuk terkait dengan pembekuan izin ground handling PT Lion Group yang dikeluarkan Suprasetyo pada 17 Mei 2016. Sanksi pembekuan ground handling dijatuhkan setelah insiden kesalahan mendaratkan pesawat rute internasional dari Singapura ke Jakarta di terminal domestik yang diikuti kesalahan membawa penumpang internasional ke jalur domestik.
Kemenhub tentu memiliki alasan sanksi harus dijatuhkan. Terkait dengan keterlambatan jadwal terbang, pihak otoritas di bidang transportasi itu sudah beberapa kali memberikan peringatan tertulis. Jelas itu merupakan peristiwa ke sekian kalinya yang telah dilakukan Lion Air.
Sementara itu, tentang kesalahan mengangkut penumpang internasional menuju kedatangan domestik, Kemenhub menilai insiden itu berpotensi membahayakan keamanan negara karena penumpang internasional bisa lolos tanpa melalui pemeriksaan imigrasi.
Dua alasan tersebut sebenarnya lebih dari cukup untuk penjatuhan sanksi, apalagi bila dikaitkan dengan ‘kesalahan-kesalahan’ sebelumnya yang pernah dilakukan dan kerap ‘dimaafkan’ regulator. Karena itu, wajar belaka bila banyak yang menyayangkan perlawanan yang dilakukan Lion Air tersebut. Bahkan, muncul petisi ‘Pemerintah Jangan Takut Ancaman Lion Air’ di media sosial yang sudah diteken lebih dari 45 ribu orang.
Sebagai bagian dari upaya mencari keadilan karena merasa diperlakukan tidak adil, langkah Lion Air itu sah adanya. Namun, pihak maskapai mestinya melakukan evaluasi, bahkan introspeksi, apakah kinerja mereka yang selama ini kerap dinilai buruk oleh publik bukan merupakan tindakan yang layak untuk diganjar sanksi?
Bahkan, bukankah beberapa kali konsumen pemakai Lion sudah mendesak otoritas di bidang transportasi untuk menjatuhkan sanksi akibat seringnya keterlambatan jadwal. Namun, desakan itu seperti membentur ‘tembok’ yang amat kukuh? Sebagai operator jasa penerbangan yang beroperasi di Indonesia, Lion Air sudah seharusnya menaati semua aturan, termasuk sanksi yang diberikan Kemenhub selaku regulator. Dengan perlawanan yang mereka lakukan kepada regulator, bisa dimaknai langkah Lion merupakan bentuk ketidaktahuan posisi sebagai operator yang harus mematuhi semua yang diinstruksikan regulator.
Kondisi tersebut, bila diteruskan, bisa mengarah pada pembangkangan yang justru bisa berimplikasi lebih serius pada dunia penerbangan kita. Terlebih, jika pemerintah ‘mengalah lagi’, potensi tergerusnya kewibawaan aturan dan pelaksana aturan akan kian runtuh. Inilah momentum bagi pemerintah untuk menunjukkan kepada publik bahwa negara tidak lembek dalam melaksanakan aturan.
– See more at: http://www.mediaindonesia.com/editorial/read/749/pantang-lembek-tegakkan-aturan/2016-05-23#sthash.NxVPyZLi.dpuf