SIKAP REDAKSI-Rabu 9 Desember 2020 akhirnya tiba juga. Pesta Demokrasi di Mandailing Natal digelar dengan penuh kemeriahan. Puluhan miliar rupiah digelontorkan masing-masing untuk pengawas dan penyelenggara. Tentu angkanya bisa mencapai ratusan miliar jika dihitung dengan segala biaya tetek bengek yang harus dikeluarkan para pasangan calon. Pesta dengan uang ratusan miliar sudah pasti akan sangat meriah. Masyarakat bahkan rela meninggalkan usaha demi pesta ini. pesta demokrasi.
Sebelum sampai pada hari H, pesta ini telah melewati banyak persiapan dan berbagai kendala. Namun, itu semua merupakan satu ujian dalam mencapai suksesnya pilkada, bukan? Tahapan itu bermula dari munculnya bakal calon. Tentu diikuti oleh para tim penjaringan yang dibentuk oleh partai politik sebagai upaya melegitimasi calon untuk diterima KPU. Setelah itu KPU pun menetapkan 3 pasangan calon yang sah untuk bertarung. Dukungan pun mengerucut pada tiga paslon itu. Bahkan yang sebelumnya digadang-gadang akan jadi calon ikut juga menyatakan dukungan untuk paslon yang ditetapkan KPU.
Sebagaimana pesta, tak akan paripurna tanpa kehadiran masyarakat. Para calon paham hal ini dan mulai pataonkon (menyampaikan undangan secara langsung-budaya Mandailing) agar masyarakat hadir dan datang. Sebagaimana politisi, para calon pun berikrar janji dan jargon-jargon andalan. Masyarakat terpolarisasi pilihan, saling dukung dan klaim bermunculan. Ruang publik seketika menjadi asing dan panas. Pun, dengan media sosial yang tak luput dari sibuknya pembicaraan pilkada. Terlebih pada hari-hari terakhir. Gambaran sebagai Negeri Beradat Taat Beribadat terkesan kabur. Saling ejek dan cemooh mungkin biasa, tapi pengungkapan aib pribadi orang lain tentu bukan sesuatu yang dapat diterima. Aib pendukung, terlebih yang masuk di ring 1 seperti kacang goreng; mudah ditemukan di media sosial. Itu belum termasuk serangan verbal terhadap fisik. Nurani dan moral seketika lenyap.
Perbedaan pilihan tak lagi dipandang sebagai sebuah keniscayaan dan suatu hal lumrah. Persamaan pikiran dianggap sebagai keniscayaan. akhirnya, ruap publik menjadi asing. Yang beda pilihan saling fitnah, yang sama saling dukung, termasuk dalam kesalahan. Polarisasi terbentuk. Parahnya, tim pemenangan seperti ikut dengan irama yang terjadi di medsos. Mereka terkesan melegitimasi semua yang berseliweran di media sosial tersebut. Dalihan na tolu sebagai instrumen hubungan masyarakat dan pertalian keluarga terinjak. Jargon-jargon persatuan terhempas dan jadi parau.
Masa tenang yang diberikan KPU selama 3 hari menjelang pencoblosan ternyata tak cukup untuk meredakan kecamuk pilkada. Saling sikut masih terjadi. Saling lempar isu masih menjadi keniscayaan. bahkan, dalam situasi itu serangan terhadap pribadi para calon justru semakin brutal.
Lalu, H-1 pilkada terdengar riak-riak kekecewaan di masyarakat terkait janji-janji tim pemenangan dan paslon yang secara langsung juga turun ke tengah-tengah masyarakat. Kekecewaan itu dituangkan dalam berbagai hal mulai dari putar balik dukungan, seruan golput dan caci maki. Tentu saja media sosial pun tak luput dari hal tersebut. Buruknya, keadaan ini justru dimanfaatkan pendukung lawan sebagai ejekan dan bahan gorengan. Akibatnya, kebencian pun semakin mengakar. Dalam 3 bulan kampanye, ruang publik benar-benar tidak menyenangkan.
Patut dinanti bagaimana ruang publik Madina selepas 9 Desember. Berkaca pada skala nasional yakni selepas Pilpres 2019, persoalan berikutnya adalah saling klaim kemenangan yang justru semakin memperburuk suasana ruang publik. Saling tuding dan saling fitnah serta isu-isu kecurangan semakin besar riaknya. Meskipun pada akhirnya 01 dan 02 bergabung dalam pemerintahan, polarisasi pilpres tak terhenti. Patut dinanti bagaimana para tokoh yang tersebar di 01, 02 dan 03 pada Pilkada Madina ini berembuk dan bersikap untuk menyatukan kembali masyarakat dalam satu ruang publik yang menyenangkan dan dewasa.
Polarisasi terbentuk karena beda pilihan, semestinya usai pemilihan polarisasi itu harus kembali lebur dan menjadi satu. Baik itu tokoh, paslon dan masyarakat sendiri harus sepakat mendinginkan suasana sepanjang jeda hari pemilihan dengan hari penetapan. Menjadi masa itu sebagai upaya rekonsiliasi dan konsolidasi untuk mencegah perpecahan yang berkepanjangan. Tentu, banyak yang sepakat polarisasi pilpres cukup membuang energi dan tenaga. Polarisasi itu sangat melelahkan. Maka sudah semestinya hal itu diantisipasi di Mandailing Natal sebagai serambi Mekkah Sumatera Utara, Tanah Para Ulama, Negeri Beradat Taat Beribadat dan Madina yang Madani. Toh, pada akhirnya hari ini kita adalah warga Madina, esok dan lusa pun demikian.
TIm Redaksi StArtNews