BADAN usaha milik negara merupakan perusahaan publik yang memberi sumbangan bagi perkembangan ekonomi dan pendapatan negara. BUMN juga perintis kegiatan usaha dan penunjang kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan. Pun, BUMN menjadi sarana memupuk keuntungan.
Peran dan fungsi BUMN tersebut sebetulnya penjabaran dari Pasal 33 UUD 1945, terutama ayat 2 dan 3. Ayat 2 menyebutkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ayat 3 mengatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Intinya, BUMN harus mendayung di antara dua kepentingan, yakni kepentingan melayani publik melalui pembangunan serta kepentingan mencari keuntungan. Itu tentu tidak mudah karena dua kepentingan itu sering kali berbenturan, atau lebih tepatnya dibenturkan.
Dalam konteks itulah kita semestinya membaca pergantian direksi Pertamina yang diumumkan pekan lalu. Pemerintah mengganti Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik dan empat direktur karena menilai mereka berkinerja buruk dalam menyelaraskan kepentingan publik dan kepentingan ekonomi.
Pemerintah menugasi Pertamina untuk menjalankan kebijakan bahan bakar minyak satu harga. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk melayani publik demi terpenuhinya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Toh dengan kebijakan tersebut, Pertamina tidak rugi total, tetapi hanya berkurang keuntungan.
Pertamina sesungguhnya sekadar menyisihkan sebagian kecil keuntungan untuk membiayai kebijakan BBM satu harga demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah sebagai pemegang saham rela berkurang keuntungan demi rakyat.
Anehnya, direksi Pertamina seperti setengah hati menjalankan kebijakan BBM satu harga tersebut. Bukan cuma aneh, melainkan juga ajaib, pemegang saham merelakan sebagian keuntungan disisihkan untuk rakyat, tetapi direksinya setengah hati menjalankan.
Namun, apalah artinya kebijakan satu harga itu bila tidak disertai ketersediaan BBM yang memadai di lapangan. Di sejumlah wilayah, BBM jenis premium dilaporkan langka. Itu juga yang menjadi alasan pemberhentian direksi Pertamina tersebut.
Tugas penting lain yang mesti dilaksanakan direksi Pertamina ialah membangun lebih banyak kilang supaya minyak mentah bisa diolah di dalam negeri menjadi BBM siap pakai. Keberadaan kilang minyak akan mengurangi ketergantungan kita pada Singapura. Lebih baik mengimpor minyak mentah lalu kita olah menjadi BBM di kilang-kilang minyak di dalam negeri daripada mengimpor BBM dari Singapura.
Itu artinya keberadaan kilang akan meningkatkan ketahanan energi kita. Ketersediaan BBM lebih terjamin dengan adanya kilang. Akan tetapi, tugas penting membangun kilang justru menjadi tempat bermainnya berbagai kepentingan.
Sudah menjadi pengetahuan umum, sejumlah pihak mengambil untung dari ketergantungan impor BBM kita dari Singapura. Pada titik inilah Pertamina membutuhkan direksi yang tahan banting, juga tahan godaan.
Namun, jajaran direksi Pertamina dianggap lamban, kalau tidak dibilang gagal, memenuhi target pembangunan kilang tersebut. Itulah yang menjadi alasan lain pemberhentian sejumlah direksi Pertamina.
Bila jajaran direksi Pertamina diganti karena kinerja yang tidak mumpuni, itu tidak terlepas dari adanya keteledoran dalam mekanisme pemilihan dan pengangkatan mereka. Oleh karena itu, kita berharap pemerintah tidak teledor lagi supaya direksi Pertamina yang terpilih kelak mampu menjalankan kepentingan publik dan kepentingan ekonomi secara selaras.
Sumber : Editorial Media Indonesia