Oleh: Roy Samsuri Lubis
Gagal merencanakan sesuatu berarti merencanakan satu kegagalan.
Demikian sebuah adagium tentang pentingnya rencana dalam sebuah tindakan. Ketiadaan rencana, terlebih dalam urusan skala besar cenderung akan berujung pada kegagalan dan ketidaktercapaian target. Tentu, masih segar dalam ingatan dan catatan sejarah bagaimana Rasulullah memenangkan perang Khandaq di masa lampau. Ide cemerlang Salman Al-Farisi untuk membuat parit menjadi rencana dan strategi yang membawa kemenangan umat Islam.
Pada pesta demokrasi di Mandailing Natal tahun ini ada satu sosok yang menjadi sorotan. Ia disorot karena atribut kemarjinalan politik lekat dengan dirinya dan kemauannya meninggalkan ego demi kemajuan Mandailing Natal. Sosok itu adalah Atika Azmi Utammi Nasution. Atribut marjinal politik itu berupa usia muda, perempuan dan tak punya sejarah politik. Namun, semua handicap politik itu ia tantang dengan penuh keberanian dan kepercayaan. Bahkan dengan tulus ia melepas kesenangan masa muda meskipun terlahir dari keluarga yang kaya.
Sebagai lulusan yang berkecimpung dengan ekonomi, visi yang ia gagas dengan H. M. Jakfar Sukhairi sebagai calon bupati dituangkan dalam jargon “Mandiri, Kompetitif, Berkeadilan dan Bermartabat”. Sekilas jargon itu hanya sebatas retorika semata, sama halnya dengan jargo-jargon lain. Namun, jika dicermati lebih jauh, visi itu merupakan representasi dari ide, program, dan target yang berkesinambungan. Visi itu merupakan satu rencana yang sangat brilian.
Pasangan yang dikenal dengan SUKA ini menjadikan ekonomi sebagai titik fokus penting dalam pembangunan dan arah perubahan Mandailing Natal ke depan. Bahkan misi pertama untuk mencapai visi itu adalah meningkatkan ekonomi di bidang agrikultur, industri dan pariwisata berlandaskan kearifan lokal sehingga terwujud kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan. Selain itu dalam program kerjanya, SUKA juga menjadikan ekonomi kreatif berbasis jaringan sebagai prioritas.
Untuk menjadi daerah yang mandiri, Mandailing Natal mutlak memerlukan percepatan peningkatan ekonomi. Ketika ekonomi masyarakat sudah bergerak dengan baik maka Mandailing Natal secara otomatis akan menjadi daerah yang mandiri. PAD akan naik, gerbong lowongan kerja akan terbuka dan pembangunan infrastruktur akan lebih cepat dan terarah.
Setelah mandiri ekonomi terpenuhi, masyarakat akan terdorong untuk tumbuh menjadi masyarakat yang kompetitif. Dengan kemandirian ekonomi kesadaran untuk mencapai pendidikan yang tinggi akan terbuka. Dengan demikian skill dan kemampuan masyarakat serta wawasan akan semakin luas. Kompetisi kemakmuran akan menjadi satu keniscayaan.
Selama ini acap kali terdengar anak-anak berprestasi harus mengubur mimpinya karena kendala ekonomi. Dengan tercapainya kemandirian ekonomi, anak-anak berprestasi itu tak perlu menengadahkan tangan dan meminta belas kasihan lagi. Peluang mereka untuk mencapai mimpi akan lebih terbuka dan masyarakat yang kompetitif akan tercapai.
Saat masyarakat sudah kompetitif, akan kembali terdorong untuk tumbuh menjadi masyarakat yang berkeadilan. Birokrasi yang ruwet akan terpangkas. Sogok menyogok secara perlahan akan sirna. Korupsi akan tertekan.
Mari kita buat satu analogi sederhana. Misalkan dalam satu kelas ada anak-anak yang punya kompetensi yang bagus dan mereka percaya dengan kemampuannya masing-masing, sebesar apa kemungkinan anak-anak ini akan berbuat curang untuk menjawab ujian yang diberikan oleh guru? Jawabnya pasti sangat kecil, bahkan cenderung tidak ditemukan kecurangan. Keadilan akan tercapai, kompetensi dan kemampuan akan mendapat ruang tersendiri. Sebab hanya orang yang tidak percaya diri dengan kemampunnya yang berbuat curang atau menyogok untuk sekadar diterima menjadi tenaga honorer, misalnya.
Terakhir, masyarakat mandiri ekonomi, punya kompetensi dan berkeadilan sekali lagi akan terdorong menuju masyarakat yang bermartabat. Martabat manusia tak akan muncul jika ekonominya lemah, tak punya kompetensi dan tak paham bagaimana bersikap adil. Saat martabat itu tercapai, kesejahteraan sebagai cita-cita satu bangsa tinggal menunggu waktu.
Upaya mencapai itu tidak semudah membalikkan telapak tangan dan SUKA pun belum tentu bisa mencapai itu semua. Apalagi masa jabatan hanya 3 tahun. Namun, 10 persen saja tercapai per tahun itu akan sangat luar biasa. Bayangkan dalam 3 tahun ke depan Mandailing Natal bergerak ke arah yang lebih baik sebesar 30 persen. Sebutan Tano Sere itu akan menjadi sebuah kenyataan. Itu masih dalam persentase kecil yang rasanya sangat mungkin tercapai. Bukankah Desa Sekapuk yang punya mobil operasional jenis Alphard itu dulunya miskin dan hanya dalam jangka 2,5 tahun saja tumbuh menjadi desa miliarder?
Kecerdesan visi SUKA yang terencana dan terarah itu secara kasat mata terlihat sederhana, tapi secara saksama sangat luar biasa. Saat satu visi tercapai, mau tidak mau masyarakat akan terdorong dengan sendirinya untuk mencapai visi berikutnya sampai pada visi terakhir sebagai Mandailing Natal yang bermartabat. Dengan visi yang terencana seperti itu rasanya tak akan ada perubahan prioritas pembangunan di tengah jalan sebab secara perlahan segala sektor akan tergerak. Kalau sudah mandiri, kompetitif, berkeadilan dan bermartabat masihkah mungkin masyarakatnya tidak religius dan cerdas?
***
Penulis adalah pegiat literasi yang berharap Madina bisa tumbuh menjadi daerah yang kompetitif dengan tingkat literasi yang tinggi. Bisa dijumpai di lini masa Facebook dengan nama akun Roy Dzannun.