POJOK REDAKSI – NEGARA berkewajiban melindungi warga negara di mana pun mereka berada. Kemauan dan kepiawaian negara dalam melindungi rakyat itu kini diuji. Sebanyak 10 warga negara Indonesia menunggu uluran tangan negara secepatnya agar mereka segera bebas dari cengkeraman penyanderaan kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Ke-10 WNI anak buah kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12 itu kini seperti berada di tubir. Setelah kapal yang membawa 7.000 ton batu bara dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas, Filipina Selatan, dibajak pada Sabtu (26/3), mereka kini disandera.
Mereka berkejaran dengan waktu. Kelompok Abu Sayyaf yang memang kerap menyandera orang asing untuk ditukar dengan tebusan uang bahkan telah mematok batas waktu hingga 8 April sebagai hari penghakiman. Jika tuntutan uang tebusan sekitar Rp15 miliar tak digubris, penyandera mengancam akan mengeksekusi mereka. Sudah jamak bagi penyandera di mana pun di dunia ini melontarkan ancaman semacam itu. Juga, sudah biasa mereka melancarkan tekanan, menebar ketakutan, agar kemauan mereka dipenuhi. Kita tentu tak perlu gentar dengan ancaman dan tekanan tersebut, tetapi tak sepatutnya pula kita menganggap remeh.
Kelompok Abu Sayyaf ialah kelompok teroris yang kejam dan bengis, apalagi setelah mereka berbaiat ke Islamic State alias IS. Mereka tak segan membunuh sandera tatkala tuntutan tebusan diabaikan. Karena itu, kita mesti superserius menyikapi persoalan ini dengan satu tujuan, menyelamatkan saudara kita yang disandera. Apa pun langkah yang ditempuh, jalur diplomasi atau operasi pembebasan, hanya satu yang kita inginkan, membawa mereka kembali berkumpul dengan sanak saudara dalam keadaan selamat.
Kita mendukung penuh langkah pemerintah melalui Kemenlu yang tiada henti berdiplomasi dengan berbagai pihak untuk membebaskan sandera. Koordinasi pun kian dijalin dengan pihak-pihak yang berkepentingan, guna menyusun langkah terbaik menyelamatkan sandera. Tentu, kita berharap jalur diplomasi bisa menjadi senjata sakti sehingga kita tak perlu menerjunkan pasukan bersenjata. Dengan dialog, keselamatan sandera jelas lebih terjamin sehingga tak perlu ada kekhawatiran berlebihan bahwa mereka akan menjadi korban.
Yang perlu kita ingatkan, negara harus berpikir amat panjang jika ingin memenuhi uang tebusan seperti yang dituntut penyandera. Menuruti kemauan penyandera memang cara paling gampang, tetapi sangat tidak pas. Membayar uang tebusan pertanda takluk sekaligus restu bagi penyandera untuk terus mengulang perbuatan terkutuk itu. Jika jalur dialog sudah tertutup, kita masih punya pasukan yang terbukti andal dalam membebaskan sandera. TNI dan Polri dengan sederet pasukan elite mereka pun siaga dan siap setiap saat diterjunkan ke medan penyanderaan. Tinggal bagaimana pemerintah meyakinkan otoritas Filipina untuk membuka pintu bagi TNI-Polri masuk ke wilayah mereka. Negara ini punya kisah gemilang menyelesaikan penyanderaan. Pada 1981, misalnya, pasukan khusus TNI-AD sukses membebaskan sandera dan pesawat Garuda Indonesia yang dibajak di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand. Pada 2011, pasukan gabungan TNI juga berhasil membebaskan 20 warga Indonesia anak buah kapal MV Sinar Kudus yang disandera perompak Somalia.