Gerakan Literasi Ekonomi Islam
Oleh Sunarji Harahap, M.M
Perkembangan ekonomi Islam yang begitu pesat, mengindikasikan bahwa ekonomi Islam merupakan solusi yang tepat sebagai sebuah sistem yang mengatur perekonomian suatu bangsa. Perbankan syari’ah misalnya, dimana bank-bank konvensional beralih menjadi bank syari’ah karena melihat perkembangan ekonomi Islam yang menjanjikan sehingga ikut serta dalam mengembangkannya. Tak lain dan tak bukan mereka meyakini bahwa perbankan syari’ah lebih dipercaya dan diminati oleh masyarakat baik yang beragama Islam maupun yang beragama non muslim.
Pembicaraan mengenai Pendidikan berbasis Islam menjadi menarik di tengah kemajuan Ilmu pengetahuan di abad 21 ini, salah satunya mengenai literasi ekonomi Islam bagi masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan 87 persen mayoritas muslim, Indonesia mempunyai potensi besar sebagai pusat ekonomi Islam di dunia ini. Faktanya, Indeks literasi keuangan Islam yang dirilis oleh Otoritas jasa Keuangan tahun 2016 masih berada di angka 8,11 persen, artinya pemahaman masyarakat Indonesia mengenai ekonomi Islam masih minim. Di samping itu, keberadaan literasi dan inklusi keuangan Islam mempunyai hubungan yang erat sehingga indeks inklusi keuangan syariah pun masih terbilang kecil di kisaran 11,06 persen pada tahun 2016. Realita ini sepatutnya menjadi perhatian bagi para pemerhati ekonomi syariah di Indonesia. Dengan demikian, Gerakan literasi ekonomi Islam yang sistematis dan berkelanjutan adalah sebuah keharusan agar masyarakat Indonesia menjadi well-literate terhadap ekonomi Islam.
Miris kiranya ketika perkembangan ekonomi Islam yang begitu pesat, namun tidak didasari dengan pengenalan dan sosialisasi. Tongkat estafet untuk membumikan ekonomi Islam ditangan kita, sekaranglah saatnya pengenalan ekonomi Islam dimulai digalakkan. Menurut penulis, dalam mensosialisasikan ekonomi Islam, pertama, sosialisasi ekonomi Islam hendaknya dimulai dari diri kita sendiri, Sudahkan kita bertanya pada diri masing-masing, apakah kita telah mempraktekkan sistem ekonomi Islam? Mulailah dari diri sendiri, dengan mengutamakan prinsip-prinsip Islam dalam setiap kegiatan muamalah kita, pengenalan ekonomi Islam bagi diri adalah mengedepankan produk-produk halal dalam berkomsumsi, merubah rekening yang awalnya konvensional menjadi rekening syari’ah, dari hal-hal yang dianggap biasa oleh orang lain tetapi sangat bermanfaat yang tujuannya untuk kebaikan.
Al-Quran surah Ar-Rad ayat 11 menjelaskan bahwa “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri“. Ayat diatas jelas menggambarkan kepada kita bahwa untuk beranjak menuju kebaikan diperlukan adanya kekuatan dan niat yang kuat bagi diri untuk menggapainya. Anggapan bahwa akan adanya banyak rintangan dalam pencapaian kebaikan tersebut harus untuk segera dihilangkan. Dalam kaitannya dengan ekonomi Islam, segala praktik ekonomi konvensional meskipun banyak didalamnya kemudahan dan kenikmatan dalam menggunakannya juga perlu disingkirkan mengingat praktik tersebut sangat bertentangan dengan sistem perekonomian Islam.
Kedua, ekonomi Islam harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sebagai salah satu mata pelajaran ditingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang tujuannya memberikan pemahaman kepada setiap murid sejak dini tentang ekonomi Islam. Saat ini pengenalan ekonomi Islam masih terfokus pada tingkat perguruan tinggi. Yang mana jurusan ekonomi Islam banyak diminati oleh calon-calon akademisi yang ingin mengetahui ekonomi Islam lebih dalam lagi karena perkembangan dan prospek dunia kerja untuk ekonomi Islam sangat dibutuhkan, oleh karena itu, banyak universitas-universitas yang membuka jurusan ekonomi Islam, dengan berkembangnya ekonomi Islam sebagai salah satu jurusan ditingkat universitas hendaknya juga ekonomi Islam digalakkan menjadi kurikulum pada pelajaran.
Tentunya dengan menjadikan ekonomi Islam sebagai kurikulum di tingkat pendidikan dasar merupakan dukungan dan harapan untuk semakin memperbaiki diri, pendidikan bukan hanya proses transfer pengetahuan tetapi yang jauh lebih penting adalah mempraktekkan nilai-nilai ekonomi Islam dalam aktivitas hidup dan efektif diterapkan semenjak pendidikan dasar. Di Negara tetangga yaitu Malaysia, dimana pelajaran ekonomi Islam sudah diajarkan semenjak kelas 1 SMA sejak 20 tahun yang lalu, dan kurikulum dikembangkan sesuai dengan perkembangan ekonomi Islam. Penulis berharap pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan terkait ekonomi Islam dijadikan sebagai kurikulum dan tidak hanya menjadi wacana tanpa dibarengi dengan kerja nyata yang berdampak pada sosialisasi ekonomi Islam seluruh masyarakat khususnya siswa-siswa sejak dini.
Ketiga, mensosialisasikan ekonomi Islam dengan pelatihan kepada para muballigh terkait pentingnya ekonomi Islam untuk dikenalkan kepada masyarakat, dengan pelatihan kepada muballigh merupakan cara yang paling efektif dalam menjangkau segala lapisan masyarakat baik perkotaan maupun pedesaan. Permasalahan yang terjadi adalah kurangnya wadah dan informasi untuk menjangkau masyarakat pedesaan, tidak adanya akses media tentang ekonomi Islam, kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah, dan ceramah dimasjid-masjid masih terbatas mengenai ibadah.
Oleh karena itu, para muballigh seharusnya diberikan pelatihan yang tujuannya sebagai salah satu alternatif yang sangat berpengaruh dalam mensosialisasikan dan mengembangkan ekonomi Islam dikalangan masyarakat pedesaan, dengan ceramah atau khutbah ekonomi Islam mampu memberikan pengetahuan baru kepada seluruh masyarakat terkhusus masyarakat pedesaan. Yang paling mendasar dalam mensosialisasikan ekonomi Islam kepada masyarakat dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa perbankan syari’ah sangat jauh berbeda dengan bank konvensional, dimana masyarakat menganggap bahwa perbankan syari’ah sama dengan perbankan konvensional, dimana system dalam perbankan syari’ah tidak adanya bunga yang dalam kajiannya bahwa bunga bank adalah riba dan dilarang dalam agama sedangk
Dilihat dari latar belakang sejarahnya, Sebagai contohnya, ilmuwan Barat bernama Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang (currency) berkualitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taimiyah, uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan perak. Inilah yang disadur oleh Gresham dalam teorinya Gresham Law dan Oresme treatise. Bahkan Bapak ekonomi Barat, Adam Smith (1776) dengan bukunya The Wealth of Nation diduga kuat banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwalnya Abu Ubaid (Agustianto, Sejarah pemikiran ekonomi).
Ini menunjukkan bahwa edukasi nilai-nilai Islam terhadap ekonomi betul-betul menginspirasi pemikiran ekonom barat pada waktu itu. Maka istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini adalah Ekonomi Islam bukanlah sebuah “pengganti” dari ekonomi konvensional, tetapi bagaimana kita “membangkitkan” ekonomi Islam yang sudah lama redup untuk menjadi solusi di tengah tantangan ekonomi konvensional yang belum mampu menjawab tantangan zaman.
Dari hal ini, perlunya kita kembali “meredefinisi” ekonomi Islam yang selama ini kita kenal. Banyak orang menganggap bahwa ekonomi Islam hanya sebatas pada sektor keuangan. Padahal ekonomi Islam mempunyai lingkup yang lebih luas yakni sektor riil seperti ekspor-impor, konstruksi, kosmetik dll.
Ada beberapa poin yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia dalam mendukung literasi ekonomi islam antara lain, pertama, berhasilnya OJK dalam menyusun roadmap perbankan syariah, pasar modal syariah dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) dengan jangka waktu 4 tahun yakni 2015 hingga 2019. Hal ini merupakan hal yang perlu kita apresiasi kepada Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan literasi ekonomi Islam secara strategis dan berkesinambungan untuk diimplementasikan di Indonesia.
Kedua, Dibentuknya Komite Nasional Keuangan Syariah yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 27 Juli 2017. Komite Nasional Keuangan Syariah atau disingkat dengan KNKS ini dibentuk mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 tentang Komite Nasional Keuangan Syariah. Komite ini dipimpin langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden langsung dan beranggotakan 10 pimpinan dari unsur pemerintah dan otoritas terkait.
Ketiga, Munculnya gerakan-gerakan yang bersifat akademis dan non-akademis dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi Islam di Indonesia seperti ISEFID, IAEI dll. Keempat, hadirnya acara seminar, simposium, forum riset, di Indonesia dengan mengangkat tema ekonomi Islam. Hal ini merupakan sebuah stimulus positif untuk meningkatkan edukasi ekonomi Islam di perguruan tinggi. Dan juga, hasil daripada riset-riset mahasiswa dan dosen bisa dijadikan referensi bagi Pemerintah dalam mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia.
Kelima, Terbuatnya undang-undang mengenai perbankan syariah Nomor 21 tahun 2008. Meskipun dalam pembentukan undang-undang ini terjadi tarik-ulur antar pemangku kepentingan di lembaga legislatif tetapi hal ini merupakan sebuah proses yang perlu dihargai karena dengan adanya regulasi yang jelas, perbankan syariah secara yuridis diakui eksistensinya. Lebih jauh, undang-undang ini juga mampu menjadi sarana edukasi untuk meningkatkan literasi ekonomi Islam.
Selanjutnya, beberapa hal yang perlu ditambahkan kedepannya, pertama, perlu dibangunnya lembaga riset khusus untuk penelitian dan pengkajian terkait ekonomi Islam mengacu pada masterplan OJK. Lembaga ini bertujuan untuk menstimulasi dan mendorong penelitian dan pengkajian untuk melahirkan formulasi baru dan fatwa-fatwa fiqih kontemporer yang akan berkontribusi dalam meningkatkan edukasi nilai-nilai Islam dalam ekonomi sebagaimana Malaysia yang membangun INCEIF sebagai kampusnya dan ISRA sebagai lembaga risetnya.
Kedua, Optimalisasi Komite Nasional Keuangan Syariah sebagai lembaga intermediasi antara lembaga pemerintah dalam bidang ekonomi dan keuangan. Pendekatan kelembagaan ini tidak hanya bottom-up, tetapi juga top-down sebagaimana yang diterapkan oleh Malaysia dalam mengembangkan ekonomi Islamnya. Ketiga, Perlunya standardisasi kompetensi dan kurikulum bagi perguruan tinggi yang membuka jurusan ekonomi Islam atau sejenisnya. Dengan fakta di lapangan bahwa lulusan ekonomi Islam banyak yang belum sinkron dengan industri keuangan syariah perlu menjadi evaluasi bagi perguruan tinggi. Dengan itu, perlu adanya sinkronisasi antara industri keuangan syariah dan perguruan tinggi demi mencetak SDM yang profesional dan tepat guna
Keempat, Melakukan sosialisasi besar-besaran melalui media online dan offline. Sosialisasi ini perlu dilakukan secara kolaboratif antar pemangku kepentingan dan stakeholders. Sosialisasi juga perlu dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan tidak hanya dalam sektor keuangan namun juga sektor riil. Bukan tidak mungkin, hal ini akan memberikan pengaruh yang massif terhadap perkembangan ekonomi Islam di Indonesia.
Menyadari bahwa meningkatkan edukasi dan literasi ekonomi Islam agar masyarakat menjadi well-literate terhadap ekonomi Islam membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mencapainya. Tapi hal ini bukan berarti tidak bisa karena Islam adalah agama yang komprehensif dan juga universal. Dengan mengetahui latar belakang historis, terminologis, problematika, peran pemerintah, dan solusi yang disebutkan diatas maka semua kembali kepada 3 nilai-nilai Islam yang dapat menyatukan pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan literasi ekonomi Islam yakni pemahaman mengenai Aqidah, Akhlaq, dan Syariah yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. 3 hal ini merupakan pondasi dan rancang bangun ekonomi Islam.
Keyakinan bahwa ekonomi Islam adalah sistem yang komprehensif dan universal harus menjadi mindset kita. Seberat apapun tantangan yang ada seyogyanya menjadi pemacu pemerintah dan masyarakat untuk terus mengembangkan literasi ekonomi Islam. Optimisme masyarakat serta peran pemerintah dalam hal ini bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pusat ekonomi Islam dunia yang akan memberikan pengaruh besar bagi kehidupan secara lokal, nasional, dan internasional. Melalui hal ini diharapkan umat Islam mampu menjadi problem solver sebagai prakarsa kebajikan (amal shalih) untuk sama-sama berlomba dalam kebaikan (istibaq fi al khairat). Semoga Allah senantiasa memudahkan kita dalam meningkatkan edukasi dan literasi ekonomi Islam di Indonesia
Walaupun begitu tentunya banyak hal yang harus diperbaiki untuk membumikan ekonomi islam, diantaranya, pertama, masih minimnya peran ulama dalam mengimplementasi nilai-nilai ekonomi Islam dalam kajian di masjid. Para ulama yang memahami fiqih muamalah dan ekonomi Islam masih relatif sedikit dan hanya sebatas orang-orang yang berada di DSN-MUI atau lembaga terkait yang memahaminya. Akibatnya, pemahaman masyarakat mengenai ekonomi Islam masih terbilang minim karena kajian-kajian di masjid-masjid mayoritas diisi dengan fiqih ibadah daripada fiqih muamalah. Ulama sejatinya mempunyai peran “sakral” dalam menjadi agent of change di masyarakat karena seorang ulama adalah orang yang bisa menjadi penggerak dan katalisator untuk mengajak masyarakat dalam membangun ekonomi umat.
Kedua, peran pemerintah harus lebih ditingkatkan terhadap pengembangan literasi ekonomi Islam terbukti dengan stagnannya market share perbankan syariah di rentan 5 persenan. Peran pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan menjadi hal penting dalam meningkatkan literasi ekonomi Islam bagi masyarakat sebab Pemerintah mempunyai kuasa tertinggi dalam pengambilan kebijakan secara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Meskipun dengan adanya beberapa institusi atau lembaga yang dibentuk untuk pengembangan ekonomi Islam di Indonesia tetapi peran pemerintah di level atas itulah yang paling berpengaruh sebagai pembuat kebijakan, sehingga ketika orang-orang yang berada di top-level pemerintah belum well-literate terhadap ekonomi Islam maka selamanya market share perbankan syariah akan konsisten berada di level 5 persen.
Ketiga, kurangnya optimalisasi SDM ekonomi syariah di Indonesia. Data dari OJK tahun 2016 menunjukkan di Indonesia sedikitnya ada 220 program studi ekonomi syariah yang tersebar di 160 perguruan tinggi dan setiap tahun lulusan ekonomi syariah bertambah banyak. Meskipun begitu, fakta di lapangan menunjukkan SDM yang berada di keuangan syariah masih banyak diambil dari lulusan ekonomi non syariah. Mengapa? Karena belum adanya standardisasi kompetensi dan kurikulum yang tepat guna dengan kebutuhan industri keuangan syariah di Indonesia. Hal ini perlu menjadi fokus utama para akademisi ekonomi syariah guna menciptakan SDM yang tepat guna. Artinya, yang menjadi masalah bukan di kuantitasnya tetapi kualitas dari SDM itu sendiri.
*) Sunarji Harahap, M.M
Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara,
Pengamat Ekonomi Syariah, Penulis Aktif Opini Harian Waspada.