POJOK REDAKSI –START FM : INILAH ironi calon perseorangan atau independen dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Kelahirannya disambut sukacita, tapi dalam perjalanan, ruang geraknya terus dibatasi.
Ibarat kata pepatah, kepala dilepas, tapi ekornya dipegang.
Kepala dilepas agar pilkada terlihat demokratis karena calonnya bisa dari jalur partai politik dan perseorangan.
Akan tetapi, ekornya dipegang agar calon perseorangan tidak bebas bergerak melawan calon dari partai politik.
Ironi itu yang dilahirkan dengan kesadaran penuh dalam Revisi UU Pilkada yang disahkan pada Rapat Paripurna DPR, Kamis (2/6).
Ada ketentuan yang memperketat proses verifikasi KTP yang digunakan calon perseorangan.
Ketentuan itu mengadopsi aturan main baru mengenai calon perseorangan, yakni verifikasi faktual dengan metode sensus untuk pendukung calon perseorangan.
Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 48.
Inilah titik krusial yang berpotensi mengeliminasi calon independen dari kontestasi pilkada.
Dengan metode sensus, petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus bertemu langsung dengan pendukung.
Jika petugas PPS tidak bisa menemui pendukung, dalam kurun waktu tiga hari pasangan calon harus menghadirkan pendukungnya ke PPS.
Jika tenggat itu tak dipenuhi, dukungan dicoret.
Tenggat tiga hari klarifikasi pendukung merupakan cara ampuh untuk menghambat munculnya pasangan calon perseorangan.
Ambil contoh Pilkada DKI Jakarta.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berniat mengumpulkan dukungan 1 juta KTP.
Itu artinya, dengan metode sensus, PPS harus bertemu langsung dengan 1 juta orang yang menyerahkan KTP untuk mendukung Ahok.
Dengan mobilitas penduduk Jakarta yang luar biasa tinggi, kemungkinan untuk bertemu dan bertatap muka tentunya menjadi sangat kecil.
Kala PPS tidak bisa menemui pemilik KTP, menjadi tanggung jawab pasangan calon untuk menghadirkan pendukung tersebut di kantor PPS.
Harus tegas dikatakan bahwa verifikasi faktual dengan metode sensus hanya menghabiskan uang.
Ketentuan itu hanya bagus pada tataran ide untuk mengantisipasi dukungan fiktif.
Namun, pada tataran pelaksanaan hanya merepotkan pasangan calon, pendukung calon perseorangan, bahkan PPS sendiri.
Itulah cara terselubung mengekang ruang gerak calon independen.
Kita tidak setuju, sangat tidak setuju, terhadap setiap aturan yang membatasi ruang gerak konstitusional calon perseorangan.
Akan tetapi, kita juga harus menghormati ketentuan perundang-undangan.
Karena itu, elok nian bila pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan uji materi Pasal 48 ke Mahkamah Konstitusi.
Langkah kompromistis masih bisa dilakukan.
KPU yang juga mengaku keberatan atas tenggat tiga hari itu harus proaktif berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah.
KPU mestinya diberi ruang leluasa untuk melakukan verifikasi.
Toh, KPU selama ini sudah berpengalaman melakukan verifikasi.
Apalagi, Pasal 48 itu mengadopsi Peraturan KPU No 9/2015 tentang Pencalonan Pilkada.
Bedanya, dalam Peraturan KPU No 9/2015 itu tidak ada batasan khusus terhadap waktu klarifikasi ke alamat pendukung.
Peraturan KPU mengatur, jika pendukung tidak di tempat, tim pasangan calon perseorangan dapat membawa mereka ke PPS kapan saja selama 14 hari masa verifikasi faktual.
Jujur kita katakan, tenggat verifikasi faktual yang ketat bagi pendukung calon perseorangan memicu masalah baru.
Oleh karena itu, tim sukses dan KPU harus mengantisipasi sejak jauh hari agar aturan tidak menghambat calon perseorangan.
Biarkan kepala dilepas dan ekor tidak dipegang.
– See more at: http://www.mediaindonesia.com/editorial/read/762/jurus-sensus-penjegal-calon-independen/2016-06-07#sthash.qIEsFdaG.dpuf