Kemalasan Berujung Celaka

Kemalasan Berujung Celaka

Pojok Redaski –Tahun 2018 yang baru saja berlalu telah dinobatkan sebagai tahun bencana oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Secara kuantitas, jumlah bencana tahun lalu memang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pada 2017, yakni 2.564 kejadian berbanding 2.862 kejadian. Namun, disebut sebagai tahun bencana karena rentetan bencana yang terjadi sepanjang 2018 merenggut jauh lebih banyak korban. Bencana pada 2018 menyebabkan tidak kurang dari 3.349 orang meninggal, 1.432 orang hilang, 21.064 orang luka-luka, dan 10,2 juta orang mengungsi. Angka itu 10 kali lipat bila dibandingkan dengan jumlah korban bencana sepanjang 2017.

Seakan hendak menegaskan 2018 sebagai tahun bencana, di hari terakhir jelang pergantian tahun, Senin, 31 Desember sore, tanah longsor menimbun puluhan rumah di sebuah dusun di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lagi-lagi bencana itu memakan korban jiwa dan keberadaan puluhan warga masih belum diketahui.

Tahun ini, BNPB memprediksi lebih dari 2.500 kejadian bencana akan melanda berbagai wilayah di Indonesia. Hitungannya sederhana saja, 2.500 ialah angka rata-rata kejadian bencana setiap tahun hingga 2018. Bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung diperkirakan masih akan mendominasi seperti di tahun lalu. Sisanya bisa berupa gempa bumi, tsunami, ataupun gunung meletus.

Sampai di situ saja prediksi bencana tahun ini, tidak bisa lebih akurat lagi. Masih dalam kategori perkiraan. Yang dapat dan sudah dilakukan baru sebatas memetakan daerah-daerah rawan bencana, tetapi tetap belum bisa diketahui kapan gempa, tsunami, atau gunung meletus itu akan melanda sampai benar-benar sudah terjadi.

Tentu kita tidak bisa berharap peringatan gempa yang menunjuk pada hari kejadian. Belum ada teknologi untuk itu di dunia, apalagi di Indonesia yang tampaknya pasrah untuk selalu tertinggal. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) saja belum bisa memprediksi pukul berapa hujan turun esok hari. Prakiraan yang muncul hanya dalam empat garis besar waktu, yaitu pagi, siang, malam, dan dini hari.

Itu pun kerap meleset. Diprakirakan mendung, ternyata sangat cerah dengan panas yang menyengat. Jangankan untuk mitigasi bencana tanah longsor atau banjir, untuk acuan menjemur pakaian saja tidak bisa diandalkan.

Coba bandingkan dengan di negara lain di kawasan Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Prediksi cuaca esok hari cukup akurat sampai pada perkiraan jam kejadian ataupun intensitasnya, baik itu hujan, salju, suhu, kelembapan, maupun kecepatan angin. Artinya, teknologi prakiraan cuaca sudah mumpuni, kita saja yang masih malas menerapkannya.

Kemalasan serupa juga terlihat pada tindak lanjut pengembangan sistem untuk antisipasi bencana. Para ahli geologi telah bersusah payah melakukan riset dan survei hingga melahirkan Peta dan Sumber Bahaya Gempa Indonesia 2017. Bahkan, potensi likuefaksi di Palu, Sulawesi Tengah, telah dipetakan Badan Geologi pada 2012.

Apa yang terjadi setelah pemetaan? Mitigasi tidak kunjung terlihat dari penyesuaian tata ruang, regulasi bangunan, hingga pendidikan tanggap bencana. Meski telah teridentifikasi, tindak lanjut kebutuhan terhadap alat peringatan dini pascatsunami Selat Sunda juga tidak bergerak cepat.

Demikian pula pembangunan tempat-tempat perlindungan yang sebagian tersandung kasus korupsi.

Semua seakan berpatokan pada moto ‘badai pasti berlalu’, berlalu pula rencana implementasi mitigasi bencana. Tidak mengherankan bila tiap kali terjadi bencana, celaka pun tertuai.

Sumber : mediaindonesia.com

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...