Pojok Redaksi- HARI Buruh setiap tahunnya hampir selalu diperingati dengan demonstrasi. Apa boleh buat, zaman boleh berubah ke era digital, buruh kita masih asyik turun ke jalan mengumpulkan massa. Bukannya menuntut diberi pelatihan keterampilan untuk memasuki era Industri 4.0, buruh kita malah menuntut hal-hal berbau politis.
Di mana ada pengumpulan massa, di sana biasanya terjadi pendomplengan. Tidak jarang muatan politik praktis ikut menyusup. Politikus-politikus atau para tokoh mendapat kesempatan untuk mendompleng.
Aksi kemarin juga tidak jauh berbeda. Tuntutan agar pemerintah mencabut Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing diteriakkan paling keras. Di saat bersamaan, sebagian anggota DPR yang dimotori Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon bergelut untuk mengupayakan pembentukan pansus tenaga kerja asing.
Bukan kebetulan hal itu mengemuka jelang ajang akbar pesta demokrasi pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif tahun depan. Semua kesempatan untuk menyerang lawan sekaligus merebut simpati pemilih tentu tidak akan dilewatkan.
Tidak mengherankan bila calon presiden dari salah satu parpol peserta pemilu tampil memanfaatkan kesempatan. Dengan disambut yel-yel ala kampanye, ia menandatangani kontrak politik yang salah satu butirnya ialah mencabut Perpres No 20 Tahun 2018 bila kelak terpilih dan menjabat presiden.
Di Sleman, Yogyakarta, pendomplengan demo buruh memicu tindakan anarkistis. Pendompleng membakar sebuah pos polisi. Sungguh ironis, demo buruh di negara yang mencetuskan Hari Buruh berlangsung murni dan damai, di sini berlangsung dengan pendomplengan politik dan anarkistis.
Zaman telah memasuki era digital, buruh dan para pendompleng tetap asyik turun ke jalan. Bukannya menuntut pelatihan.
Rasanya percuma sehari sebelumnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengeluarkan peringatan agar partai politik tidak menyusupkan materi kampanye Pemilu 2019 dalam aksi buruh. Seakan tidak ada wibawa pengawas pemilu di mata partai tersebut. Segala cara halal atas nama kepentingan buruh, yang notabene juga pemegang hak suara dalam pemilu.
Harus diakui, penanganan tenaga kerja asing di Indonesia masih banyak kekurangan. Dalam investigasi di sembilan provinsi sepanjang Juni-Desember 2017, Ombudsman RI menemukan banyak pelanggaran penggunaan TKA, dari penempatan posisi kerja yang tidak sesuai dengan aturan sampai pelanggaran durasi izin kerja.
Hal itu, disebut Ombudsman, akibat lemahnya pengawasan oleh Tim Pengawasan Orang Asing alias Tim Pora. Dalam hal pengawasan, Perpres 20 Tahun 2018 lebih memerinci pembagian tanggung jawab ketimbang perpres sebelumnya. Aturan itu juga menegaskan sanksi pidana untuk pelanggar dan kewajiban membayar kompensasi penggunaan TKA.
Izin dan proses birokrasinya memang diringkas, tapi bukan berarti memperlebar akses bagi tenaga kerja asing. Masih ada aturan turunan berupa peraturan menteri tenaga kerja yang memperjelas ketentuan perpres. Itu yang perlu terus dikawal penyusunannya. Di sini peran DPR melalui mekanisme rapat kerja diperlukan, bukan pansus TKA yang terang sekali dipaksakan ambisi merebut kekuasaan.
Pemerintah pun jangan bersikap defensif sehingga cenderung mengabaikan kritik. Mari berdemokrasi secara sehat dengan parpol sebagai anutan dan pemerintah sebagai pengayom. Segenap rakyat akan riang gembira menyambut pemilu tahun depan dengan suasana damai, bebas dari goreng-menggoreng isu, apalagi persekusi.
Sumber : Editorialmediaindonesia