Menyelamatkan Situs Bersejarah di Natal

Menyelamatkan Situs Bersejarah di Natal

ASKOLANI (Penulis dan Budayawan)

DI RANGKASBITUNG, ada Museum Multatuli. Itu museum pertama yang menggambarkan jejak kolonialisme di Hindia Belanda. Sekalipun namanya museum Multatuli, koleksi yang menyangkut artepak Multatuli hanya ada dua koleksi.

Pertama, satu penggal ubin dari reruntuhan rumah kediaman multatuli saat di Lebak, Banten. Kedua, surat Multatuli ke raja Belanda, Willem III. Selain yang dua itu, hanya ada satu lagi benda sejarah Multatuli, yakni sepotong ubin hitam. Ubin itu ditemukan seorang jurnalis dan sekarang disimpan di museum Belanda.

Kita di Mandailing Natal punya apa? Ada sumur Multatuli yang digalinya sendiri. Dan ini: rumah kediamannya yang nyaris roboh. Bukan hanya sepotong ubin.

Bayangkan, berapa lembar papan, tiang, atap dan bagian-bagian lain dari rumah ini yang bisa menjadi koleksi museum? Padahal, satu potong koleksi saja sudah menjadi koleksi yang penting.

Di Bogor, hanya ada tiga potong batu megalitik yang disebut situs Purwagalih. Tiga potong batu yang tak sampai setinggi satu meter itu dibuat atapnya. Ada juga lembar informasi berbentuk leaflet yang siap dibagikan kepada pengunjung. Dan dijaga satpam juga. Ketika saya ke sana dulu, satpam dengan sigap melayani kita dengan berbagai infornasi tambahan.

Hanya tiga potong artepak kecil di Purwagalih dan dua potong di Rangkasbitung. Bayangkan dengan kekayaan situs Multatuli yang kita miliki saat ini.

Saya tidak tahu berapa tahun lagi rumah Multatuli ini bertahan untuk tidak rata dengan tanah dan punah. Tentu kalau tidak segera ada perlakuan, penyelamatan, atau apapun namanya.

Betapa kayanya cagar budaya kita. Dalam komplek yang sama, selain ada Sumur Mulratuli dan rumahnya, juga ada rumah peristirahatan untuk ratu Belanda, ada Kantor Controleur Natal yang sekarang menjadi RSUD Natal, ada SD 01 yang dulu menjadi sekolah polisi kolonial, dan gudang kas. Belum lagi puluhan benteng yang tersebar di sekitar muara dan pantai Natal, meriam Rafless, bekas kantor radio dan telegraf, Kantor Kejaksaan yang dulu disebut Landraad, Pesanggarahan Natal, dan lain-lain. Ada juga jejak kampung Cina di Natal, dan pekuburan Tionghoa. Itu sebagai bagian dari masa masa kolonialisme: tanam paksa, politik etis, perdagangan kopi, lada, cengkeh, dan rempah.

Ketika kapal Dewa Ruci menelusuri jalur rempah di Nusantara tahun lalu sebagai bagian dari program Kemendikbud, Natal tidak tercatat dalam agenda. Karena tidak ada publikasi tentang itu.

Museum jejak kolonisme di Lebak belum sebanding dengan koleksi yang kita miliki. Sebuah museum mungkin belum menjadi prioritas kita. Tetapi, kita bisa bersama-sama mendorong pengarusutamaan penyelamatan situs-situs bersejarah ini; dengan literasi, dengan jurnalisme, networking, pressure group atau apapun bentuknya.

Kalau Museum Multatuli di Banten digagas oleh sebuah media lalu disupport oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, masa kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Misalnya! (***)

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...