SIKAP REDAKSI-Isu-isu politik semakin gencar memadati ruang publik masyarakat Mandailing Natal menjelang Pilkada 9 Desember mendatang. Riuh perbincangan menggema dari warung-warung kopi di pinggir desa sampai ke restoran atau hotel-hotel yang ada di Mandailing Natal. Bahkan, masyarakat dan tokoh-tokoh asal Madina yang ada di perantauan pun tak tinggal diam. Dukungan terhadap para calon terus menggema.
Namun, kebanyakan dukungan masih sebatas ikatan emosional semata, bukan karena program dan visi misi para calon. Riuh dukungan itu kebanyakan karena ikatan keluarga, kerabat, sahabat, teman sekolah, politik dan ketidaksukaan terhadap calon lain. Akibatnya, perhatian dan keseriusan dalam publikasi dan ekplorasi visi misi tek terlihat. Padahal visi misi yang jelas dan terencana serta bisa dipertanggungjawabkan merupakan langkah mutlak para calon setelah terpilih.
Setengah jalan kampanye yang berlangsung, publikasi visi misi masih sangat minim. Tim media para calon terlihat hanya fokus pada postingan-postingan seremonial semata. Foto atau video yang terpublish hanya memperlihatkan para calon hadir di tengah masyarakat, berorasi dan berdonasi. Sementara esensi dari pertemuan tersebut tak terkuak ke publik.
Permasalahan yang dihadapi masyarakat Mandailing Natal sangat kompleks dan rumit. Sengketa lahan, narkoba, tambang, pendidikan, pekat, perputaran ekonomi yang pelan menjadi sedikit dari kompleksnya persoalan Madina. Isi pikiran dan solusi dari persoalan itu tak terlihat dan terdengar oleh publik atau konstituen. Yang tampak hanya seremonial kunjungan semata.
Pandemi, misalnya, sampai hari ini takada satu paslon pun yang berani bersuara memberikan solusi untuk tahun berikutnya yang merupakan tahun pertama sebagai kepala daerah. Apalagi pengembangan pariwisata berbasis budaya yang menjadi daya tarik wisatawan mancanegara, terlebih lokal, menguap begitu saja. Semua paslon seperti kompak “Kalau terpilih kita akan bangun ini dan itu”. Padahal persoalan Madina bukan semata pembangunan ini dan itu.
Jalan raya yang bagus akan kehilangan esensinya jika ekonomi masyarakat mandek. Gedung-gedung sekolah hanya akan jadi sebatas instrumen semata jika akses pendidikan tidak memihak kaum miskin. Tentu saja, kedatangan investor hanya akan menumbuhkan kesenjangan sosial yang semakin besar jika daya saing masyarakatnya lemah.
Penyampaian visi misi yang jelas akan mengikat pemilih yang peduli dengan pembangunan Madina, baik dari segi infrastruktur, ekonomi dan sumber daya manusianya. Misalnya, ketika Pilkada Jakarta 2017, pasangan Anies-Sandi menawarkan Oke Oce untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Sedangkan Ahok Djarot menghadirkan KJP dan KJS. Kedua program yang ditawarkan pasangan calon kala itu menghadirkan turbulensi pemilih. Pergerakan elektabilitas dan survei menjadi semakin menarik untuk diamati. Sementara antusiasme pemilih meningkat.
Para calon pasti paham dengan semua persoalan itu dan punya proker yang terarah. Namun, dengan tidak adanya publikasi yang jelas, semua proker yang diatata sedemikian rupa itu akhirnya hanya tersimpan di memori otak tanpa sekalipun dituliskan dan dilempar ke publik. Visi misi yang disusun bersama orang-orang yang kompatibel dan memakan waktu yang tak sedikit itu hanya tersimpan di laci meja dengan kunci yang jatuh entah di mana.
Akibatnya, masyarakat bingung dengan dengan jargon-jargon yang disampaikan para calon dan tim pemenangan karena yang terlihat hanya seremonila, orasi dan donasi semata. Jargon yang bersifat agamis tidak ditunjang dengan penjelasan misi yang terencana dan dipahami. Jargon pendidikan tidak dibarengi dengan publikasi yang mudah dimengerti dan jargon ekonomi tidak diikuti keterangan yang membuat harapan dan optimisme tumbuh menjulag di hati dan pikiran masyarakat.
Tak salah kalau kemudian banyak yang bertanya, para calon kepala daerah Mandailing Natal jualan apa? Jargon, kah? Orasi, donasi, visi misi atau justru mengandalkan serangan fajar?
Tim Redaksi StArtNews