Pojok Redaksi-Tiga tahun lalu, pesantren dengan para pelajar atau santrinya mendapat penghormatan dari negara dengan penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri. Sejak itu, Hari Santri diperingati setiap tahun di seluruh Indonesia dengan puncak acara yang selalu dihadiri presiden.
Santri merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia. Sejarah mencatat para santri sangat berperan dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak berlebihan bila di masa kini santri juga diharapkan menjadi penjaga NKRI.
Indonesia memiliki fitrah keberagaman. Tidak hanya berupa suku dengan adat istiadat dan bahasa masing-masing, tetapi juga agama dan keyakinan. Menjaga NKRI berarti merawat kemajukan agar terhindar dari perpecahan.
Ajaran agama Islam yang menjadi pegangan para santri selaras dengan upaya-upaya yang diperlukan untuk menjaga NKRI. Sebaliknya, hal-hal yang mendorong perpecahan bangsa kerap muncul dari perilaku yang berlawanan dengan akhlak Islam. Contohnya mudah memercayai kabar yang beredar tanpa mengetahui kejelasan ataupun kredibilitas sumber kabar tersebut.
Tak hanya mudah percaya, tetapi juga ringan jari untuk menyebarluaskannya. Padahal, Islam sangat tegas mengingatkan betapa merusaknya kabar bohong dan fitnah. Islam juga mengecam perilaku yang gemar mengolok-olok serta menjelek-jelekkan orang lain. Orang yang diliputi kebencian pun diberi peringatan keras agar tetap bersikap adil.
Sifat-sifat tercela dalam pandangan Islam tersebut berulang kali mencuat, khususnya di tahun menjelang penyelenggaraan agenda politik yang membuka peluang pergantian kekuasaan. Kabar bohong dan ujaran kebencian berseliweran menghasut siapa pun yang mudah percaya.
Tanpa sadar, mereka yang terhasut seperti menyerahkan diri menjadi alat pemuas nafsu berkuasa aktor-aktor politik yang minim pegangan moral. Kebenaran terabaikan, diganti syahwat kepentingan yang sesaat memabukkan sebelum akhirnya mengempaskan mereka.
Akan tetapi, tentu tidak demikian dengan para santri. Sebagai orang yang dipandang saleh, orang yang mendalami agama Islam, patut bila santri diyakini memiliki akhlak yang jauh dari sifat-sifat tercela yang dikecam ajaran Islam tersebut. Mereka ialah produk pesantren, tempat persemaian akhlak islami sekaligus penyebaran ilmu pengetahuan.
Selepas dari pendidikan di pesantren, akhlak dan ilmu tersebut akan selalu menyertai santri. Ketika santri kembali melebur ke masyarakat, seyogianya pula mereka tetap menjadi santri dengan segala pembawaan akhlak terpuji. Di mana pun mereka berkiprah, cahaya Islam memberi kesejukan.
Santri yang menjadi ulama ialah anutan dalam menjalani ajaran agama dan penerapan ilmu pengetahuan. Santri yang terjun ke politik menjadi politikus yang tak hanya bermoral dan beretika, tapi juga cakap. Demikian pula santri yang mengambil beragam pofesi di tengah masyarakat. Mereka diharapkan menjadi barometer akhlak islami.
Pilihan yang berbeda dalam politik ialah biasa, itu hanya urusan duniawi. Lebih penting menjaga persaudaraan dan kasih sayang di antara sesama umat, saudara sebangsa, manusia, dan sesama makhluk-Nya. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Para santri paling depan dalam pemahaman itu. Mereka salah satu penjaga NKRI.
Sumber : Editorial Media Indonesia