Pojok Redaksi – ‘KALAU bersih, kenapa harus risih?’. Slogan tersebut diluncurkan dan dipopulerkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersama Bank Indonesia hampir satu dekade yang lalu. Para nasabah diajak untuk tidak segan mengungkapkan sumber transaksi yang masuk rekening.
Kalimat yang menyentil itu tampaknya juga relevan untuk mempertanyakan kepatuhan penyelenggara negara dalam menyampaikan laporan harta kekayaan. Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), per 31 Januari 2016, secara keseluruhan tingkat pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara hanya sekitar 70% dari 271.984 orang.
Apabila ditilik berdasarkan empat unsur wajib lapor, yakni yudikatif, eksekutif, legislatif, dan BUMN/BUMD, unsur legislatif menunjukkan kepatuhan yang paling rendah. Bahkan, tingkat kepatuhan unsur legislatif amat rendah, hanya 27%.
Unsur legislatif, menurut definisi yang dipegang KPK, meliputi anggota DPR dan DPRD. Jika ditelusuri lebih jauh, jumlah anggota DPR yang telah menyampaikan laporan sekitar 60%. Artinya, ketidakpatuhan termasif berada di kalangan DPRD.
Walaupun begitu, yang perlu digarisbawahi ialah masih banyak penyelenggara negara yang tidak patuh. Padahal, berdasarkan amanat Undang-Undang No 28 Tahun 1999, penyelenggara negara berkewajiban melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
Lebih jauh lagi, penyelenggara negara juga harus bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Kenyataannya, tidak kurang dari 80 ribu wajib lapor masih mengabaikan perintah undang-undang tersebut.
Berbagai alasan pun dilontarkan, mulai kurang memahami bagaimana cara mengisi formulir laporan hingga berdalih tidak berkewajiban melapor. Alasan terakhir itu paling memiriskan.
Ketika penyelenggara negara tidak mengetahui kewenangan mereka dapat menjadi celah korupsi, jangan-jangan mereka juga tidak memahami tindakan-tindakan yang masuk definisi korupsi. Tidak mengherankan jika masih banyak penyelenggara negara yang terjerat kasus korupsi. Mereka pun tidak jarang berkukuh merasa tak bersalah.
Ketiadaan sanksi tegas dijadikan tembok pelindung oleh para penyelenggara negara yang abai menunaikan kewajiban melaporkan harta kekayaan. Mereka lupa, dari ketidakpatuhan itu, timbul sangkaan-sangkaan bahwa mereka telah memperkaya diri sendiri dengan melakukan korupsi.
KPK pun menegaskan penyelenggara negara yang tidak kunjung melapor telah menyalakan alarm, tanda bahwa kekayaan mereka sangat perlu diperiksa. Patut diduga, si wajib lapor telah menyembunyikan hasil korupsi dalam harta mereka.
Publik berharap kesadaran penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaan timbul dari diri sendiri, bukan karena takut pada sanksi. Bukan pula takut ketahuan telah menilap uang negara. Mereka akan terlihat bersih karena tidak risih melaporkan harta kekayaan.