Membereskan DPR

POJOK REDAKSI – NASIHAT bijak agar kita tidak jatuh di lubang yang sama sepertinya sudah tidak lagi mempan untuk Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga yang mewadahi para wakil rakyat itu bahkan seperti senang berlama-lama dalam lubang keterpurukan. Menjelang akhir tahun ini, DPR justru makin dalam menggali ‘kuburan’ sendiri dengan sikap pantang mundur terhadap hal-hal yang mencederai etika.
Terhadap Setya Novanto, misalnya. Mantan Ketua DPR yang oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan telah dinyatakan melakukan pelanggaran etika sedang hingga berat dalam kasus ‘papa minta saham’ tersebut nyatanya tetap akan memainkan peran penting di DPR lewat penunjukannya sebagai Ketua Fraksi Golkar. Meski jabatan tersebut memang wewenang partai politik, sikap menunjuk Novanto mencerminkan ketidakpedulian akan aspirasi rakyat.
Dengan penunjukan Novanto sebagai ketua fraksi, artinya sebagian produktivitas dan kinerja DPR masih dalam kendalinya. Dengan posisi itu pula pintu pimpinan komisi serta alat kelengkapan dewan lainnya masih amat terbuka bagi Novanto. Situasi seperti itu sama saja dengan menganggap rakyat tidak ada. Tidak hanya bernafsu meminggirkan etika demi satu sosok, DPR bernafsu memperjuangkan agenda golongan lewat pembentukan-pembentukan panitia khusus (pansus).
Contoh teranyar ialah pembentukan Pansus Pelindo II. Betul bahwa pembentukan pansus merupakan hak dewan. Namun, menjadi aneh hasil rekomendasi pansus tersebut menyentuh wilayah yang sama sekali bukan domain wakil rakyat. Dalam rekomendasi mereka, Pansus Pelindo II meminta agar Menteri BUMN Rini Soemarno dicopot. Amat gamblang bahwa pencopotan dan pengangkatan menteri merupakan hak mutlak presiden.
Ia jelas domain eksekutif yang bebas dari intervensi legislatif. Kecuali DPR memang tidak memahami pembagian wewenang legislatif dan eksekutif, rekomendasi itu sama artinya bahwa DPR merupakan lembaga yang tidak menghormati tata kenegaraan. Setelah sebelumnya oleh Ketua DPR, kali ini posisi lembaga kepresidenan hendak ‘dilecehkan’ pansus.
Dengan banyaknya agenda yang aneh-aneh tersebut, sesungguhnya tidak mengherankan ketika kinerja DPR dalam fungsi utamanya amat merosot pada 2015. Dalam fungsi legislasi, dari 40 rancangan undang-undang (RUU) prioritas pada 2015, hanya tiga yang dituntaskan menjadi undang-undang.
Bahkan jika melihat lebih dalam, hanya satu dari tiga UU tersebut yang dihasilkan dari ‘keringat’ DPR, yakni UU Penjaminan. Dua UU lainnya merupakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), yakni perppu tentang pemilihan kepala daerah dan perppu pemerintah daerah. Kerja yang sungguh minimalis itu membuat DPR periode ini ditabalkan sebagai anggota dewan dengan kinerja terburuk sejak reformasi digulirkan pada 1998.
Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memang memberikan rekomendasi penyerapan anggaran semester II 2015 dan menyetujui RAPBN 2015 dan RAPBN 2016. Namun, secara substansi tidak banyak instrumen anggaran tersebut yang merupakan produk dewan demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian anggaran bahkan lebih bernuansa mengedepankan kepentingan dewan, seperti anggaran yang digelontorkan untuk kompleks parlemen hingga tunjangan anggota dewan.
Dengan kinerja yang memalukan seperti itu, sudah amat mendesak bagi DPR untuk membereskan diri. Penyelamatan dari lubang kehancuran yang makin dalam hanya bisa dilakukan jika fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR kembali didasari sepenuhnya dan dilakukan sebaik-baiknya. DPR mesti fokus membersihkan diri, melakukan fungsi-fungsi utamanya secara cerdas, terarah, dan fokus. Sudah saatnya DPR tidak hanya bisa memproduksi kegaduhan remeh-temeh dan menggantinya dengan kegaduhan substansial.
Comments
This post currently has no comments.