Menolak Didikte

POJOK REDAKSI – KABAR akan dilakukannya reshuffle jilid II Kabinet Kerja semakin kencang mengemuka, bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui perombakan itu tengah digodok bersama Presiden Jokowi. Di situlah kedewasaan bangsa ini dalam bertatanegara akan diuji.
Dalam berbangsa dan bernegara, mengganti, merotasi, atau merombak jajaran kabinet bukanlah sesuatu yang istimewa. Ia biasa dan lumrah dilakukan oleh presiden untuk menjawab perkembangan yang terjadi.
Namun, di Republik ini, sesuatu yang biasa itu cenderung dianggap luar biasa. Wacana reshuffle pun tak jarang memantik kegaduhan politik karena disikapi dengan kacamata politik dan demi kepentingan politik dan kekuasaan.
Kegaduhan itu pula yang beberapa hari mewarnai bangsa ini. Benih-benih polemik terkait dengan reshuffle jilid II sebenarnya sudah terpantik ketika Partai Amanat Nasional memutuskan menyeberang dari oposisi ke barisan pendukung pemerintah. Ibarat tak ada makan siang gratis, bergabungnya partai pimpinan Zulklifi Hasan itu diyakini berbumbukan keinginan untuk mendapatkan kursi menteri.
Benar belaka, belakangan PAN sesumbar mereka akan memperoleh dua jatah menteri. Meski istana membantah, mereka tetap yakin bakal menempatkan kader mereka, Taufik Kurniawan, sebagai menteri perhubungan menggantikan Ignasius Jonan, serta Asman Abnur akan menggantikan Siti Nurbaya sebagai menteri lingkungan hidup dan kehutanan.
Tak hanya dipicu manuver PAN, wacana reshuffle semakin memanas ketika Pansus Angket Pelindo II DPR pimpinan Rieke Diah Pitaloka dari PDIP merekomendasikan agar Presiden memberhentikan Menteri BUMN Rini M Soemarno. Mereka menuding Menteri Rini telah melakukan pembiaran atas terjadinya tindakan melawan hukum di PT Pelindo II.
Konstitusi yang menjadi fondasi tegaknya negara ini jelas dan tegas menggariskan bahwa presiden ialah pemegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan. Dengan sistem presidensial yang kita anut, presiden punya hak prerogatif untuk membentuk pemerintahan. Ia punya hak penuh untuk mengangkat dan memberhentikan menteri.
Karena itu, tak semestinya ada pihak-pihak lain, siapa pun dia, yang berusaha memengaruhi apalagi mendikte dan mengintervensi presiden. Kalau Presiden memang ingin mengocok ulang kabinet, biarkan dia yang menentukan.
Kalau Presiden memang ingin kembali me-reshuffle kabinet seperti pada Agustus silam, biarkan dia yang punya kuasa. Namun, bila Presiden tak hendak merombak kabinet, jangan pula ia didorong-dorong untuk melakukannya.
Kita amat yakin bahwa elite-elite politik paham betul aturan main itu. Namun, harus kita katakan, kali ini mereka pura-pura tak paham sehingga tanpa risih berusaha merecoki kewenangan Presiden dalam me-reshuffle kabinet.
Apa yang dilakukan politikus PAN jelas tidak etis karena mengumbar informasi yang belum tentu benar bahwa PAN akan mendapat jatah dua menteri. Tak salah pula jika publik menganggap mereka tak tulus bergabung ke pemerintah seperti yang digembar-gemborkan. Juga, tak salah jika publik menilai PAN kemaruk jabatan karena saat masih di Koalisi Merah Putih, mereka mendapatkan jatah Ketua MPR.
Segendang sepenarian dengan Pansus Angket Pelindo II DPR. Sangat tak beretika mereka meminta Presiden mengganti menteri BUMN. Tiada satu pun pihak yang boleh menekan, mengintervensi, dan mendikte Presiden. Kita mengingatkan pula kepada Presiden untuk jangan mau didikte siapa pun. Jika jadi kembali dilakukan, reshuffle semata harus didasarkan pada semangat menguatkan kinerja kabinet demi memperbaiki kehidupan rakyat. Merombak kabinet mesti dilandaskan pada tekad untuk mengakomodasi kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai atau elite-elite politik.
Comments
This post currently has no comments.